Berikut ini adalah contoh naskah drama 5 pemain (bagian I). Karena naskah ini lumayan panjang makanya naskah drama 5 orang pemain ini dibagi menjadi beberapa bagian. Semoga tidak terlalu menyusahkan bagi rekan semua.
Untuk yang membutuhkan contoh ini silahkan baca langsung di bagian bawah. Cek juga untuk download naskah drama singkat dari link yang disediakan.
LAKON
FAJAR SIDDIQ
KARYA EMIL SANOSSA
DRAMATIC PERSONAE
MARJOSO
SERSAN
AHMAD
H. JAMIL
ZULAECHA
SEBUAH MARKAS GERILYA, TERLIHAT SEBUAH RUANGAN,
SATU PINTU, SATU JENDELA SEL, MEJA TULIS DAN DUA KURSI DAN SATU BANGKU, PETI
MESIU, HELM DAN RANSEL TERGANTUNG.
MALAM HARI, KEADAAN SEPI, TEGANG, JAUH-JAUH
MASIH TERDENGAR LETUSAN TEMBAKAN DAN IRING MUSIK SAYUP-SAYUP INSTRUMENTAL GUGUR
BUNGA, KEMUDIAN MUNCUL MARJOSO MEMBAWA SURAT, KEMUDIAN DUDUK MEMBACA. MUNCUL
SEORANG SERSAN.
MARJOSO
Jadi,
sudah terbukti dia bersalah.
SERSAN
Ya,
Pak.
MARJOSO
Tidak berdasarkan kira-kira saja?
SERSAN
Bukti-bukti telah cukup mengatakan, dan mereka menuntut
eksekusi dapat dijalankan sebelum fajar.
MARJOSO
Menuntut? Kau kira siapa yang bertanggung jawab
di sini?
SERSAN
Sudah terang! Tapi mereka khawatir, karena ..... karena
si terhukum adalah ........
MARJOSO (cepat)
Adalah kawanku? ...... Anak dari seorang guru yang kau hormati? Begitu?
SERSAN
Maaf, Pak.
MARJOSO (mengeluh)
Mereka pikir, apa aku ini? Mereka pikir dalam hal ini aku
masih sempat memikirkan dia,
anak dari seorang guru yang aku hormati. Kalau aku
mintakan dia diperlukan dengan baik, itu
adalah haknya sebagai tawanan.
SERSAN
Maaf, Pak. Kerap kali terjadi.
MARJOSO
Yaaaaaahh! Kerap kali terjadi. Orang tidak bisa membedakan
antara tugas dan perasaan. Bawa dia kemari.
SERSAN
Siap,
Pak!
SERSAN
MASUK, MARJOSO MELANGKAH, KEMUDIAN DUDUK. TERDENGAR NYANYIAN DALAM PENJARA.
MARJOSO MARAH)
MARJOSO
Hai!
Siapa yang meraung dini hari?
(NARATOR)
Siapa
lagi kalau bukan si Djaelani pemabuk itu!
MARJOSO
Suruh
dia diam.
(Kemudian
sersan masuk menghadap marjoso, membawa seorang tawanan, sersan diperintahkan
keluar dengan segera. Ahmad menunggu
dengan cemas. Marjoso
(menyuruh duduk)
Ahmad,
kau tak apa-apa, bukan?
AHMAD
Mereka
bilang, kalau bukan kerena kau, aku sudah di satai. Terimakasih atas kebaikanmu
itu.
MARJOSO
Terimakasih
itu tak perlu.
AHMAD
Baiklah,
apa yang akan kau perbuat atas diriku, perbuatlah! Kini aku tawananmu.
MARJOSO (kata-kata itu menyayat seakan-akan memisahkan hubungan masa lalu)
Ya
............. kau tawananku.
AHMAD
Tembaklah!
Biar kau puas.
MARJOSO (merasakan itu sebagai
sindiran yang tajam)
Itu
perkara nanti. Tapi aku ingin mendengarkan dari mulutmu sendiri tentang
semuanya ini dulu.
AHMAD
Apa
yang ingin kau dengar?
MARJOSO
Dengan
maksud apa kau kemari?
(Ahmad
membisu)
Jawab
Ahmad! Hanya itu yang ingin kutanyakan. Aku tidak ingin menanyakan tentang
apa-apa yang telah kau perbuat. Aku tidak ingin menanyakan berapa jumlah
prajuritku yang gugur terjebak tipu dayaku ....... Jawablah!
AHMAD (tersenyum dingin)
Tidakkah
kau tahu, bahwa antara anak dan orang tuanya senantiasa terjalin ikatan yang
tak terputuskan?
MARJOSO
Jangan
kau coba mengelak, Ahmad!
AHMAD (menegaskan suaranya)
Aku
ingin menjumpai ayah dan adikku Zulaecha.
MARJOSO
Tahukah
kau tempatnya?
AHMAD
Tidak.
MARJOSO
Dari
mana kau tahu kalau ayah dan adikmu di sini?
AHMAD
Dari
orang-orang yang pernah datang kemari.
MARJOSO
Hmmmmm.
Sebelum tertangkap kau sudah lebih kurang tiga hari berkeliaran di daerah ini,
bukan?
AHMAD
Tidak!
Tepat pada waktu aku sampai, aku terus ditangkap.
MARJOSO
Jangan
bohong, Ahmad!
AHMAD
Aku
tidak bohong.
MARJOSO
Di
mana kau ditangkap?
AHMAD
Di
tengah-tengah bulak.
MARJOSO
Mengapa
kau di sana?
AHMAD
Aku
sedang melepaskan lelah.
MARJOSO
Melepaskan
lelah di tengah-tengah bulak? Ha .... ha ... ha ...
AHMAD
Aku
tersasar. Aku belum pernah memasuki daerah ini.
MARJOSO
Waktu
itu sebuah pesawat capung melayang-layang di atas bulak itu pula, bukan?
AHMAD
Ya!
Tapi itu hanya secara kebetulan.
MARJOSO
Engkau
tidak takut ditembak dari atas, Ahmad?
AHMAD
Aku
takut juga.
MARJOSO
Mengapa
kau tidak berlindung?
AHMAD
Aku
berlindung. Aku rapatkan diriku rapat-rapat ke tanah.
MARJOSO (mengambil sebuah cermin kecil di atas meja)
Ahmad,
ini cerminmu bukan?
AHMAD (gugup sejurus)
Ya.
MARJOSO
Hm,
pesolek, benar, kau sekarang ...Apa gunanya cermin ini?
AHMAD
Cermin
gunanya untuk mengaca.
MARJOSO
Ada
sisirmu, Ahmad? Kau bawa sisir?
AHMAD
Hilang!
MARJOSO (menatap Ahmad, tenang)
Ya,
Ahmad. Mengapa engkau bohongi aku? Baiklah kau takut pesawat capung itu
menembakmu, bukan?
AHMAD (tersadar, akan
masuk perangkap)
Maksudku
... akan ... aku tidak begitu takut.
MARJOSO Mengapa?
AHMAD
Karena
....... karena .......
MARJOSO
Karena
apa?
AHMAD
Karena
itu hanya pesawat capung.
MARJOSO
Tapi
engkau tiarap juga, bukan?
AHMAD (tak segera menyahut)
.....................Ya.
MARJOSO
Dan
engkau keluarkan cerminmu pada waktu itu. Barangkali kau pikir itu adalah
kesempatan yang baik bagimu untuk melihat mukamu kena debu atau tidak. Kemudian
orang melihat pantulan cerminmu bermain ke kiri dan ke kanan
(Ahmad
tetap membisu)
Mengapa
begitu, Ahmad?
AHMAD
Aku
tidak tahu
PERASAANNYA
CEMAS SEKALI
MARJOSO (marah)
Dusta!
Dusta kau!!!
AHMAD
(tersentak)
Engkau
toh tahu aku akan berdusta.
MARJOSO
(merendah
kembali)
Mengapa
engkau dustai aku, Ahmad?
AHMAD
Karena
aku senang untuk berbuat begitu.
MARJOSO (mula-mula perlahan
kian lama kian berkobar)
Engkau
binatang yang tak perlu di beri ampun. Bukankah engkau yang membakar pesantren
ayahmu?
AHMAD
Tidak!
Tidak ........ aku tidak membakarnya.
MARJOSO
(mengatasi
suara Ahmad)
Engkau
tak membakarnya. Tapi engkau biang keladi yang menyebabkan pesantren itu
terbakar. Pesantren yang mewarisi tradisi turun-temurun. Mulai dari buyutmu,
kakek-kakekmu sampai ke ayahmu. Pesantren tempat ayahmu menempa pemuda-pemuda
yang bertanggung jawab akan hari depan agama dan tanah airnya, bangsanya. Ahmad
..... engkau tidak menyesali semua itu?
(terdiam
sebentar-sebentar menarik nafas).
Oh, Ahmad, tidakkah engkau takut akan siksa
Tuhanmu? Bagaimana kelak dosamu akana membakar dirimu?
AHMAD
Itu
tanggunganku. Resiko!
MARJOSO
(ke depan)
Oooooooo,
jiwa yang tak lebih berharga dari pada jiwa seekor anjing. Berapa banyaknya air
mata
yang harus dicucurkan para ibu untuk mengenang murid-murid ayahmu yang hangus
terbakar
bersama pesantren yang dicintainya, Ahmad.
AHMAD
(tegas)
Tapi,
siapakah yang akan mencucurkan untuk rubuhnya ibuku? Siapa yang suka berkata
”Akan
kutuntut kematian ini!” Siapa yang akan membalas
dendamnya?
MARJOSO
Diam
kau!
(Ahmad
tertunduk).
Angkat
mukamu,
pengkhianat!
Pandanglah aku untuk kali yang penghabisan.
Karena malam ini juga rakyat menuntut darahmu.