Berikut ini adalah contoh naskah drama 5 pemain lanjutan dari bagian I dipostingan sebelumnya. Selamat menyimak.
AHMAD
Aku
tidak sudi memandang muka seorang pembunuh.
MARJOSO (tersentak sejurus)
Angkat
mukamu, pengecut.
AHMAD (mengangkat mukanya
perlahan-lahan)
Aku
telah mengangkat mukaku, Marjoso. Aku telah mengangkat mukaku, seperti dulu,
tatkala
kudengar
serentetan tembakan. Dan kemudian rubuhlah ibuku .... mati. Aku telah
mengangkat
mukaku.
Marjoso.
MARJOSO
(setelah
berfikir)
Dengarkan
aku, bicara! Pandanglah aku untuk penghabisan kalinya. Kenangkanlah kembali
kawan-kawanmu. Kenangkanlah tatkala mereka dengan sepenuh tenaganya mengangkat
tangan dan menyeruMERDEKA.....MERDEKA!
kemudian mereka tak kuasa lagi mengepalkan tinjunya. Mereka roboh
berlumur darah. Kenangkanlah, betapa api telah memusnahkan mereka.
(UCAPAN
INI MEMPENGARUHI AHMAD, SEHINGGA IA DUDUK TERMENUNG)
AHMAD
Aku
kenangkan itu. Aku menangkan ...... Mereka menang lalu mati. Dan aku .....
Ohhh, kemudian .... Letupan yang dasyat a ... aku terlempar. Aku lihat ayah
.... Terbungkuk-bungkuk dan lari bersama Zulaecha. Aku menyeru mereka ... tapi
tak terdengar. Aku hanya mendengar suaraku sendiri. Aku juga mendengar suara
ayahku. Syahid, ya anakku” kemudian fajar yang memerah, yang kian terang. Aku
lihat ..... Oh, siapa yang akan menuntut balas kematiannya? Siapa?
(menggigil,
tangannya gemetar)
Marjoso!
.....
MARJOSO
(memanggil
seorang prajurit)
Sersan!
(seorang
prajurit menghadap)
Bawa
tawanan itu ke dalam.
AHMAD
(tergagap-gagap)
Marjoso.
Engkaulah .... Engkaulah.....
AHMAD
TAK DAPAT MELANJUTKAN PERKATAANNYA PRAJURIT ITU TELAH MEMBAWANYA. MARJOSO
TERTEGUN, SUARA NYANYIAN TERDENGAR MAKIN KERAS, KEMUDIAN TERDENGAR KETUKAN
PINTU
MARJOSO
Masuk!
.....
(H.
Jamil masuk)
Pak
Kyai ....
HAJI
JAMIL
Terlalu
terhormat kalau dia di tembak. Seharusnya dia digantung.
MARJOSO
Silakan
bapak duduk. Saya ingin mendengarkan pertimbangan-pertimbangan bapak.
HAJI
JAMIL
Pertimbangan
apa? Ragukah kau menggantung dia?
MARJOSO
Bukan
begitu, bapak. Ahmad sudah terang bersalah. Dan dia harus menerima hukumannya.
Namun,
pada saat-saat terakhir, karena bapak adalah ayahnya, saya juga perlu
mendatangkan
bapak
kemari.
HAJI
JAMIL
Dia
bukan anakku. Haji Jamil tidak mempunyai anak pengkhianat.
MARJOSO
Harap
diingat, Pak. Malam ini adalah malam terakhir bagi Ahmad. Tentulah bapak
sependapat
dengan
saya, bahwa saat-saat yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah saat
manusia
menghadapi
mautnya. Saat-saat itu memerlukan persiapan
dan bimbingan. Pada saat-saat terakhir, saya ingin dia mati sebagai putra
bapak, sebagai murid Pak Kyai. Saya ingin dia mati bukan sebagai anjing.
HAJI
JAMIL
Kutukan
apa yang ditimpakan kepadaku ini? Oh anakku?
MARJOSO
Pak
Kyai!
HAJI
JAMIL
Aku
telah besarkan anak itu. Aku turunkan ilmuku, karena dialah yang kuharapkan
segala-galanya. Tetapi, mengapa dia tidak mengerti perjuangan bangsanya
sendiri? Aku sungguh tidak mengerti. Balasan apa yang harus kuterima ini,
Marjoso?
MARJOSO
Pak
Kyai tidak boleh menyesali diri hanya lantaran dia. Beratus-ratus murid bapak,
bahkan beribu-ribu yang senantiasa menyebut-nyebut nama Kyai dengan hormat dan
khidmat. Beribu murid yang akan mewarisi cita-cita bapak, dan meneruskan
cita-cita itu. Marilah kita tidak bicarakan hal itu. Kini kita membicarakan
seorang putra, yang walau betapa sesat
pun, dia masih seorang putra.
HAJI
JAMIL (getir)
Bagaimana
harus kujawab, kalau seandainya pada hari pengadilan tertinggi yang Maha Kuasa
bertanya
padaku tentang tanggung jawabku. Mengapa anakmu menjadi musuh bangsaku, Haji
Jamil?
Bagaimana kau mendidiknya?
MARJOSO
Demi
sesungguhnya ,Pak Kyai, bagaimana kita harus melawan suratan Tuhan? Adalah
takdir
semata
kalau Ahmad berbeda dengan ayahnya.
HAJI
JAMIL (tersentak
agak gusar)
Takdir
semata? Apa yang kau ketahui tentang takdir, Marjoso? Tuhan memberikan
kebaikan-kebaikan kepada kita, Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan kepada kita.
Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan untuk melawan keburukan-keburukan pada kita.
Tuhan memberikan alat-alat yang kita
perlukan untuk memenuhi panggilannya
sebagai makhluk semulianya makhluk.
Tuhan tidak menakdirkan Ahmad sebagaia
musuh bangsanya. Dia sendiri yang berbuat begitu. Dia sendiri yang menentukan
harus mati sebagai dia. Tuhan memberinya akal, mengapa tidak dipergunakan
akalnya untuk menginsyafinya, bahwa perbuatan yang sehina-hinanya di permukaan
bumi ini adalah mengkhianati bangsanya
sendiri.
MARJOSO
Terima
kasih, Pak Kyai.
HAJI
JAMIL
Anak
itu harus mempertanggungjawabkan seluruh dosanya.
MARJOSO
Saya
ingin mempertemukan dia dengan ayahnya. Mungkin ini adalah pertemuan kyai yang
penghabisan,
dalam keadaan dia masih mungkin dibimbing ke jalan yang diridhoi Allah,
walaupun beberapa saat sebelum ia harus
mati. Sukakah Pak Kyai memenuhi permintaan saya ini?
HAJI
JAMIL (terdiam
sejurus)
Dapatkah
aku penuhi permintaanmu itu, Marjoso?
MARJOSO
Mengapa
tidak, Pak Kyai?
HAJI
JAMIL
Dapatkah
aku berhadapan dengan anjing yang harus kupangil anakku?
MARJOSO
Pak
Kyai ........... mengapa tidak?
HAJI
JAMIL
Tidak,
......tidak! .........Gantung saja dia! Tak perlu aku melihat mukanya lagi.
MARJOSO
Benar-benar
relakah Pak Kyai?
HAJI
JAMIL
Aa...,
aku rela!
MARJOSO
Namun,
dialah putra yang pernah Pak Kyai harapkan, dialah putra yang pernah Pak Kyai
bisikkan
dalam telinganya kalimat azan tatkala ia lahir. Masih ada beberapa saat lagi di
mana bapak mungkin bisa mengharapkan sesuatu darinya, penyesalan umpamanya,
atau taubat nasukha.
HAJI
JAMIL
Tidak!
Tidak ada gunanya sedikitpun mengharap dalam nama Allah.
MARJOSO
Tidak
inginkah Pak Kyai agar Ahmad mati dengan menyebut nama Allah?
HAJI
JAMIL
Tidak!
MARJOSO
Tidak,
Pak Kyai?
HAJI
JAMIL(setengah
mengharap)
Oh,
Marjoso ............. Aku telah berharap-harap dan harapanku dihancurkan,
dimusnahkannya ..................
MARJOSO
Pak
Kyai, aku mohon sudi kiranya ......
HAJI
JAMIL (cepat
menyahut)
Tak
perlu, Marjoso, tak perlu aku lihat mukanya lagi.
MARJOSO (berfikir sejurus)
Baiklah
Pak Kyai, saya sudah menawarkan kesempatan.
(memanggil seorang prajurit)
Sersan!
(seorang
prajurit menghadap)
Sudah
siap regu tembak?
SERSAN
Siap,
Pak!
HAJI
JAMIL (bingung
dan gugup)
Nanti
dulu, dia akan ditembak sekarang?
MARJOSO
Saya
menundanya hanya untuk memberikan kesempatan pada Pak Kyai.
HAJI
JAMIL (mengeluh)
Oh,
Tuhan, mengapa kau timpakan bencana ini kepada hamba-Mu? Hamba-Mu yang
tak
sekejappun melupakan engkau!
MARJOSO
Pak
Kyai!
HAJI
JAMIL
Mengapa
justru di akhir hayatku Engkau panggil semua yang kucintai.
MARJOSO
Tawakallah
Kyai!
HAJI
JAMIL (menenangkan
dirinya)
Asstaghfirullah!
........... Ampunilah aku lantaran menyesali engkau
KEPADA
MARJOSO
MARJOSO (memerintah Sersan)
Sersan!
Bawa Ahmad menghadap!
SERSAN
Siap,
Pak!
BERANGKAT
MARJOSO
Tenangkanlah
jiwa Pak Kyai.
HAJI
JAMIL
Aku
telah kehilangan segala-galanya.
MARJOSO
Kecuali
iman, Pak Kyai
HAJI
JAMIL
Yaaaach,
kecuali iman.
KURIR (masuk)
Seorang
anak wanita bernama Zulaecha minta menghadap, Letnan!
MARJOSO (memandang Kyai seolah meminta
pertimbangan)
Zulaecha
Pak Kyai.
SEBELUM
KURIR KELUAR, ZULAECHA SUDAH MEUNCUL DI PINTU
HAJI
JAMIL
Mengapa
kau ikut kemari?
ZULAECHA
Aku
ingin melihat abangku.
HAJI
JAMIL
Mengapa
kau pedulikan dia?
ZULAECHA
Dia
abangku, ayah, tidak bolehkah aku melihat abangku?
MARJOSO
Tentu
saja engkau boleh menemuinya.
HAJI
JAMIL
Tidak!
ZULAECHA
Mengapa
aku tidak boleh menemuinya ayah?
HAJI
JAMIL
Anjing
geladak itu segera mampus!
ZULAECHA
Ayah!
..... Ayah mengatakan anakmu Bang Ahmad anjing geladak?
HAJI
JAMIL
Itu
lebih baik daripada nama pengkhianat nusa dan bangsa.
ZULAECHA
Tapi
dia anakmu, ayah.
HAJI
JAMIL
Zulaecha.
Engkau mencoba mempengaruhi peradilan ini dengan emnghbungkan darah?
MARJOSO
Kholifah
Umar membunuh anaknya sendiri yang durhaka
(menginsyafkan Zulaecha)
ZULAECHA
Ayah,
aku anakmu ........... Dia anakmu. Dia satu-satunya saudaraku. Satu-satunya
.............!
HAJI
JAMIL
Cukup!
Pulang kau! Aku rela dia dibunuh. Aku rela dia dilenyapkan. Karena dengan
lenyapnya dia, lenyap pula satu di antara beratus-ratus penghalang untuk
kemenangan republik.
MARJOSO
Terima
kasih, Pak Kyai, izinkan saya menemuinya dahulu.
KELUAR
ZULAECHA
Ayah,
kalaupun dia mati, kepada siapa aku berlindung? Kepada siapa aku harus
menumpangkan
diri, kalau ............ kalau takdir Tuhan menghendaki Ayah kembali kepadanya.
HAJI
JAMIL
Zulaecha!
ZULAECHA
Kepada
siapa, Ayah?
HAJI
JAMIL
Kepada
Yang Maha Pelindung, Allah SWT.
ZULAECHA
Kalau
pada suatu saat aku minta pertolongan, ayah?
HAJI
JAMIL
Kepada
Yang Maha Kuasa!
ZULAECHA
Hanya
itu, Ayah?
HAJI
JAMIL
Kepada-Nya-lah
aku serahkan engkau. Bukan saja nanti, tapi sekarang juga! Sekarangpun aku
senantiasa
memohon perlindungan Tuhan bagimu.
ZULAECHA (terdiam sejurus)
Ayah,
kalau seorang datang kepadamu menyatakan taubatnya dan memintakan
perlindunganmu
........ apa yang akan ayah perbuat?
HAJI
JAMIL
Aku
doakan agar ia diterima taubatnya oleh Allah SWT. Aku tidak punya hak untuk
melindungi orang yang telah banyak dosa.
ZULAECHA
Ayah,
nabipun tak pernah membunuh orang yang telah mencoba akan membunuhnya.
HAJI
JAMIL
Aku
bukan nabi!
ZULAECHA
Tapi
kita wajib mengikuti sunnah nabi! Bukankah begitu, Ayah?
HAJI
JAMIL
Anakku,
kau mengajari ayahmu, Nak? Tahukah engkau, siapa abangmu itu? Dosa apa yang
telah
diperbuatnya?
ZULAECHA
Aku
tahu, Yah!
HAJI
JAMIL
Mengapa
kau membelanya?
ZULAECHA
Karena
dia abangku. Tanpa dia aku akan sendirian.
HAJI
JAMIL
Kita
hidup bersama amal kita, anakku. Kita hidup bersama budi kita. Beramallah,
berbudiluhurlah, berbuatbaiklah. Dan engkau tidak akan kehabisan saudara. Kau
akan merasakan bahwa sesungguhnya kemanusiaan adalah satu keluarga. Kemanusiaan
adalah satu darah, satu urat, satu
cita-cita.
ZULAECHA
Ayah,
............... Berilah Bang Ahmad kesempatan untuk menebus dosanya, dengan
amal saleh.
HAJI
JAMIL
Kesempatan
itu telah disia-siakan. Bukan aku yang harus memberi kesempatan seperti itu
kepadanya. Tetapi, apakah perjuangan yang meminta korban harta dan jiwa ini,
relaa memberi kesempatan bagi hidup seorang serti dia?
ZULAECHA (mengeluh)
Oh,
ayah, setiap kita pernah bersalah, mengapa tak ada ampun bagi dia?
HAJI
JAMIL (cemas)
Tapi,
tidak setiap kita telah membakar pesantrennya sendiri, Zulaecha!
ZULAECHA (memandang tajam
ayahnya)
Tidak!
Dia tidak membakarnya.......... oh, ayah, aku tahu apa yang diperbuatnya,
(mendesak) dia tidak membakarnya .... aku tahu benar, dia tidak membakarnya
.... aku tahu benar, mengertilah, Ayah!
HAJI
JAMIL
Tapi
dia telah menunjukkan tempat persembunyian prajurit gerilya itu! Dia yang
menjadi penyebab kehancuran ini.
ZULAECHA
Mungkin
dia tidak rela, sebuah pesantren dijadikan tempat persembunyian prajurit gerilya.
HAJI
JAMIL
Tidak
rela? Pikiran apa itu? Tidakkah ia tahu bahwa di dalam pesantren itu aku
mengajarkan
murid-muridku,
dan apa yang kuajarkan kepada mereka? Aku ajarkan kecintaan kepada agama,
kecintaan
kepada tanah air, dan kecintaan kepada bangsa. Tidakkah ia tahu, di dalam
pesantren itulah aku menyiapkan pemuda-pemuda yang jiwanya ditempa kepercayaan
tauhid, yang mewajibkan kita bertahan, bersatu, dan bila diserang wajib kita
balas serangan itu, oleh karena Islam tidak rela dijajah siapapun.
ZULAECHA (terdiam sejurus)
Ayah,
masih ingatkah ayah tatkala ibu tewas, tubuh itu hancur oleh peluru.
HAJI
JAMIL
Itu
bukan salah siapa-siapa. Kematian ibumu, salahnya ibumu sendiri.
ZULAECHA
Tapi,
siapakah yang menewaskan ibu, ayah? Siapakah yang menembaknya, ayah?
HAJI
JAMIL
Sudah
kuperingatkan supaya ibumu jangan lari, tatkala kita terkepung musuh, sebab hal
itu bisa
menunjukkan
tempat persembunyian prajurit kita.
ZULAECHA (mendesak terus)
Tapi,
siapa yang menembak? Aku ingin jawaban ayah. Siapa yang menembak?
HAJI
JAMIL
Ibumu
tidak dapat menguasai ketenangan jiwanya dan lari.
ZULAECHA
Dan
kemudian serentetan tembakan, dan ibu jatuh, rubuh tak bangun-bangun lagi.
(nada keras) Peluru siapakah yang merubuhkannya? Peluru siapa?
HAJI
JAMIL (tegang
menahan perasaan)
Peluru
Marjoso!
* Bersambung *