Berikut ini adalah bagian III dari Naskah Drama 5 Pemain. Silahkan dipelajari untuk menambah wawasan kita mengenai naskah drama, selain itu perlu diingat bahwa drama yang ini merupakan drama 5 pemain sambungan dari bagian sebelumnya.
Download
ZULAECHA
Ya.
Peluru dari murid yang paling ayah kasihi, lebih dari mengasihi anaknya
sendiri.
HAJI
JAMIL
Tapi
itu adalah hak Marjoso untuk berbuat begitu, apa artinya satu jiwa bagi
beribu-ribu jiwa yang dalam tanggungannya.
ZULAECHA
Namun
dia adalah penyebab kematian ibu. Orang itu masih ayah lindungi juga, ayah beri
tempat
persembunyian
di pesantren. Dapatkah abang disalahkan, kalau sejak saat itu dia mendendam?
Karena
dendam itulah dia menunjukkan tempat persembunyian Marjoso, tapi pesantren itu
terbakar
semuanya. Belandalah yang membakarnya, bukan Ahmad. Dapatkah Bang Ahmad disalahkan? Karena dendam sudah menutupi
seluruh kesadarannya. Sadarlah, ayah!
HAJI
JAMIL (mengeluh)
Begitu
banyak korban telah jatuh ......
ZULAECHA
Tapi
apakah ia sengaja memusuhi perjuangan, atau hanya memburu musuh pribadinya
karena dia
butuhkan,
dan dia butakan dendam, ia hanya akan melepaskan sebutir peluru pada dada
pembunuh ibunya, tapi malang, Bang Ahmad tertangkap, dan kini dia harus mati
sebelum tuntutannya terpenuhi. Salahkah dia kalau begitu mencintai ibunya?
(menyerang
terus)
Ayah,
mintalah kebebasan baginya. Marjoso adalah murid ayah. Pergunakan pengaruh ayah untuk kebebasan anakmu Ahmad.
Dia tidak bersalah, satu-satunya kesalahan dia adalah terlalu cinta kepada
ibunya.
HAJI
JAMIL (komat-kamit
sendiri)
Dapatkah
..... Dapatkah aku berbuat begitu?
ZULAECHA
Ayah
harus berbuat begitu.
HAJI
JAMIL (marah)
Mengapa
aku harus berbuat begitu, Zulaecha?
ZULAECHA
Karena
dia adalah anakmu.
HAJI
JAMIL
Hanya
karena dia anakku?
ZULAECHA
Karena
dia kini menderita, Ayah!
HAJI
JAMIL
Bagaimana
dengan korban-korban yang telah tewas lantaran dia? Bisakah mereka mengijinkan
saya?
ZULAECHA
Ini
semata-mata korban, Ayah.
HAJI
JAMIL
Kita
semua adalah korban. Korban dari keserakahan suatu bangsa yang ingin menjajah
dan
mengisap.
Justru itu kita berjuang, menghancurkan mereka, kita berjuang agar bumi kita
yang
kaya-raya
ini tidak menjadi tempat berlaganya serigala-serigala
lapar yang menamakan dirinya
manusia.
Zulaecha, mengapa kau bicara tentang korban?
(Zulaecha
akan bicara tetapi Haji Jamil segera menggerakkan tangannya)
Jangan
sela aku dulu!
ZULAECHA (mulai berbisik)
Namun
Ayah, .............. Ayah…
HAJI
JAMIL (mengangkat suaranya)
Jangan
kau perlemah hatiku. Tidak! Aku serahkan anak laki-lakiku satu-satunya untuk
revolusi, atau sebagai pahlawan, atau sebagai pengkhianat, namun........aku
serahkan dia.
MARJOSO (masuk dengan tenang)
Yah,
dia boleh mati sebagai pengkhianat atau panglawan, sebab revolusi hanya
mengenal dua ini, pahlawan revolusi atau pengkhianat revolusi. Zulaecha! Engkau
tidak boleh membawa persoalan kematian ibumu, dalam persoalan abangmu. Revolusi
tidak mengenal arti korban perseorangan, revolusi tidak mengenal siapa bapak,
ibu atau anak. Revolusi hanya mengenal pengkhianat revolusi atau pahlawan
revolusi.
ZULAECHA (tak terkendalikan
lagi, marahnya memuncak)
Kau
pembunuh! Pembunuh! Engkau membunuh ibuku!
Dan kini kau akan membunuh abangku, dua orang yang paling kucintai. Tapi
tunggu, Marjoso! Ibu masih mempunyai anak satu orang lagi.
HAJI
JAMIL (mengatasi
anaknya)
Zulaecha,
engkau akan menjadi pengkhianat seperti
abangmu?
ZULAECHA (tersedu-sedu)
Aku
tak rela, Ayah ........Aku tak rela.
HAJI
JAMIL (menenangkan)
............. Diamlah, Anakku, ........
Diamlah.
MARJOSO (penuh perasaan)
Apalah
artinya korban satu atau dua jiwa yang kita cintai untuk perjuangan suci ini?
HAJI
JAMIL
Marjoso,
maafkan adikmu, Nak!
ZULAECHA (bangkit dari
isakannya dan mengancam)
Tidak!
Aku tidak perlu meminta ampun kepada pembunuh.
MARJOSO (memandang jauh ke
depan)
Zulaecha,
perlukah aku bangga-banggakan korban-korban untuk tanah air ini? Perlukah aku
katakan bahwa tak lebih dari satu bulan yang lalu aku juga mengalami kesedihan
yang dalam, kedua orang tuaku dua-duanya ditangkap Belanda, dan meninggal dalam
penjara.
HAJI
JAMIL
Marjoso!
Benar, Nak?
MARJOSO (tak bergerak)
Zulaecha,
kalau engkau menuntut kematian ibumu lantaran perbuatanku,
sesungguhnya
telah aku penuhi permintaan itu. Aku berikan arwah ibuku untuk arwah ibumu,
karena
abangmu jua yang menyebabkan kematian mereka, dia yang telah menyebabkan aku
menjadi sebatang kara, tetapi perlukah aku katakan itu semua? Namun aku telah
relakan ................ kedua orang
tuaku. Seperti aku telah relakan diriku untuk revolusi besar ini. Aku memohon,
semoga darah mereka yang mengalir akan mempercepat datangnya fajar kemenangan
yang diharap-harapkan tujug puluh juta bangsa.
HAJI
JAMIL
Jangan
kau lemahkan hatimu, anakku, jangan kau lemahkan.
MARJOSO
Kini
Pak Kyai satu-satunya orang tuaku.
HAJI
JAMIL
Sejak
dulu kau adalah anakku.
ZULAECHA
MENAHAN ISAKNYA, MENGANGKAT KEPALA, BERDIRI AKAN BERBICARA TETAPI KATA-KATANYA
TAK DAPAT KELUAR KEMUDIAN LARI MENINGGALKAN TEMPAT ITU. HAJI JAMIL TAK SEMPAT
BICARA. MARJOSO MENARIK NAFAS
MARJOSO
Kini
tiba saatnya Pak Kyai, tibalah saatnya bertemu dengan Ahmad.
HAJI
JAMIL (berat
menjawab)
Baik,
bawalah kemari.
MARJOSO (bergerak ke mejanya dan diam sejenak,
kemudian memanggil seorang prajurit)
Sersan! Bawa tawanan itu kemari.
SERSAN (datang menghadap)
Siap,
Pak!
MARJOSO
Bawa
tawanan itu kemari!
SERSAN
Siap
Pak!
KEMUDIAN
PERGI
MARJOSO
Kiranya
Pak Kyai dapat memberinya nasihat terakhir semoga ia menginsyafi
kesalahan-kesalahannya.
SERSAN MASUK MEMBAWA AHMAD MENGHADAP MARJOSO. AHMAD
TERKEJUT MELIHAT AYAHNYA DI SITU, KEMUDIAN MEMBUANG MUKA
HAJI
JAMIL (menatap wajah anaknya)
Ketika
pesantren itu dalam kobaran api, aku melihat jiwa merintih. Jiwa-jiwa yang igin
menuntut balas, namun tak berdaya lagi. Pada saat itu aku memohon kepada Tuhan
YME ...... ” Ya, Allah, bawalah dia yang telah membakar rumah ini tempat
hamba-Mu mengagungkan nama-Mu, dan memenuhi panggilan-Mu, bawalah dia kepadaku
agar aku bisa menyampaikan hasrat mereka yang tak kuasa lagi mengangkat tangan
untuk menuntut keadilan, dan kini Tuhan
telah mengabulkan. Dia ... Dia adalah anakku sendiri, darah dagingku sendiri.
(sejurus
ditatapnya anaknya)
Ahmad!
Berlutut kau! Berlutut! Mintalah ampun kepada bumi tanah-airmu, tanah air yang
telah kau khianati.
AHMAD (tak berperasaan)
Aku
tidak mengkhianati tanah airku.
HAJI
JAMIL
Tanganmu
berlumur darah, dan darah itu adalah darah kawan-kawanmu sendiri, Ahmad.
AHMAD
Aku
tidak pernah membunh seorangpun.
MARJOSO
Ya,
memang kau tak pernah membunuh seorangpun dengan tanganmu. Tapi khianatmu!
Jiwa
budakmu! .... Jiwa budakmu!
AHMAD
Kenapa
aku tidak boleh membunuh musuhku? Kenapa aku tidak boleh membunuh, membalas
dendam
kematian ibuku? Apakah harganya aku sebagai anak laki-laki, kalau pembunuh
ibuku
dibiarkan
saja tanpa suatu pembalasan?
MARJOSO (bangkit memukul
meja)
Kau
tak berhak memakai alasan itu untuk mempersuci dirimu!
AHMAD (meludah benci)
Di
mataku engkau tak berharga sedikitpun, Marjoso.
HAJI
JAMIL
Ahmad!
AHMAD
Ayah
akan membela dia?
HAJI
JAMIL
Ya.
Ayah akan membela dia, lantaran dia benar.
MARJOSO
Engkau
selalau membawa soal ibumu, baik, Ahmad! Siapa yang telah menunjukkan tempat
persembunyian
kedua orang tuaku? Siapa yang telah menyuruh mereka untuk menjebakku? Jawab!
Siapa?
AHMAD (tegas)
Aku!
HAJI
JAMIL
Oh,
Ahmad, di mana lagi hatimu?
MARJOSO
Tapi
kau tak berhasil menjebak aku, namun kedua orang tuaku ditangkap dan mereka tak
ada lagi kini. Mereka mangkat akibat siksaan-siksaan yang keji.
AHMAD (gemetar)
Tidak!
............... Tidak! ..............
MARJOSO
Mengapa
tidak? Mereka adalah korbanmu. Sekarang apa maumu? Kau memburu aku? Korban
berjatuhan
karena dendammu, kini kau berhadapan dengan aku (mengambil pistol dari meja)
Ini ada sepucuk pistol untuk kau pakai menghabisi musuhmu. Terimalah! (melempar
pistol itu ke
hadapan
Ahmad, dan Ahmad menerimanya, kemudian Marjoso mencabut pistolnya sendiri)
Marilah
kita habisi dendam di antara kia.
AHMAD
DIAM TERPAKU, PISTOL DI TANGAN BELUM DIAPA-APAKAN,
MARJOSO BERGERAK MENJAUH. HAJI JAMIL TERPAKU TAPI TAK SEGERA MENENGAHI KEDUANYA
HAJI
JAMIL
Jangan!
Jangan kalian saling membunuh. Kalian bersaudara,
kalian adalah anakku.
MARJOSO
Kalau
aku harus mati lantaran pelurunya, Pak Kyai, aku harus ikhlas mati untuk
meyakinkan dia dan orang-orang seperti dia, bahwa dalam perjuangan ini tidak
harus diperhitungkan untung rugi
perseorangan.
Aku ikhlas mati untuk meyakinkan semua orang, bahwa sebab yang akan
menggagalkan
revolusi ini ialah, manakala orang masih tidak meleburkan dirinya sendiri ke
dalam leburan yang tidak lagi mengenal siapa ayah, siapa ibu, dan siapa itu
saudara.
HAJI
JAMIL
Marjoso,
anakku, kau tidak boleh mengorbankan diri untuk manusia yang begini rendahnya.
MARJOSO
Korban
telah cukup banyak, Kyai. Seorang demi seorang kawan-kawan gugur lantaran soal
dendam-mendendam ini. Aku merasa ikut bersalah juga Kyai
(keterangan
ini meliputi ketiga orang itu. Ahmad tampak tak dapat menguasai dirinya,
Marjoso mengangkat pistolnya, Haji Jamil memalingkan muka, sedih, dan putus asa
dalam kecemasan)
Angkat
pistolmu agar kau mati dengan tidak membawa dendam ke dlam kubur. Aku akan
menghitung
sampai tiga kali, maka tembaklah aku dan aku akan menembakmu.
AHMAD
TIDAK MENJAWAB, IA MENGANGKAT PISTOLNYA
TAPI JELAS TANGANNYA MULAI GEMETAR. MARJOSO MENATAPINYA DENGAN TENANG. JARAK
MEREKA KIRA-KIRA EMPAT LANGKAH DIPISAHKAN OLEH MEJA, HAJI JAMIL BERDIRI DI
TENGAH-TENGAHNYA
HAJI
JAMIL
Nah,
mulailah nembak kalian berdua. Mulailah menembak
Ahmad, mulailah menembak Marjoso!
(kedua-duanya
tak beegerak, mulai menurunkan pistolnya.
Marjoso terpaku diam, keringat mengalir di dahinya)
Kalian
orang-orang yang dikuasai dendam dan
nafsu.
AHMAD (sekonyong-konyong
berseru dan berlutut, menjatuhkan badannya di meja dan menangis. Air mata mulai
mengumpul, Haji Jamil menghampiri dan kemudian kedua orang itu, ayah dan anak
saling berpelukan dengan mesranya)
Ayah!
.....
HAJI
JAMIL
Ahmad
............... oh, Ahmad ......... kau anakku! Kau anakku!
AHMAD (tak bisa menguasai
dirinya)
Ayah,
mengapa aku harus begini?
HAJI
JAMIL (menggeletar)
Aku
serahkan engkau kepada Tuhan. Semoga Tuhan mengampuni engkau, aku ampuni
dosamu
kepadaku, tetapi dosamu terhadap orang lain
pertanggungjawabkan sendiri terhadap
Tuhanmu.
Engkau anakku. Matilah engkau sebagai anakku! Sebagai seorang muslim yang
mengerti arti taubat, janganlah engkau
menangis karena sedih akan berpisah
dengan aku, tetapi menangislah karena telah terlalu banyak berbuat dosa!
AHMAD (dengan penuh keraguan dan penyesalan yang
dalam)
Ayah,
....... di manakah adikku Zulaecha?
HAJI
JAMIL
Dia
dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.
AHMAD
Ayah,
sampaikan salamku padanya ... agar ia
tetap menjadi patriot bangsa dan pembela tanah air
mengikuti
jejak ayahnya.
MARJOSO
Ahmad,
saatmu sudah tiba!
AHMAD TERSENTAK SEKETIKA TERTEGUN MEMANDANG
AYAHNYA DAN MARJOSO. DENGAN BERAT LALU MELANGKAHKAN KAKI MENUJU KELUAR DIIKUTI
OLEH MARJOSO DAN SERSAN
HAJI
JAMIL (mengikuti
dengan pandangan penuh arti, kemudian
beberapa saat terdengar tembakan tiga kali, pertanda tamatnya riwayat Ahmad,
kemudian Haji Jamil melangkah ke tengah panggung dengan pandangan yang dalam
dan jauh sekali)
..........
Tuhanku, inilah pertanda datangnya fajar kemenangan. Kemerdekaan bangsa
dan
negaraku.
SELESAI
Referensi: