Tugassekolahku, cerpen cinta remaja, "Malamku yang Sunyi tanpa Cinta". Perlahan matahari berlalu ke barat. Menyembunyikan sinar nya,
seolah ia lelah menyinari bumi ini. Malam kembali tiba, kenangan itu pun ikut
tiba. Kenangan tentang seorang pria yang dulu begitu aku kagumi.
Kenangan seorang pria yang dulu selalu ada untukku. Selalu
menyemangati ku, memperhatikan ku, dan juga selalu memberikan senyuman nya
untukku.
Aku terbaring diatas tempat tidur ku. Pandanganku menatap
kearah langit-langit kamar ku. Sulit sekali rasanya untuk memejamkan mata.
Setiap aku mencoba memejamkan mata ini.
Bayangan itu selalu muncul dan mengganggu pikiranku. Saat
aku sedang dilanda kegalauan, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahku.
“tok..tok..tok.. Assalamu’alaikum”.
Aku pun beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju
pintu.
“Wa’alaikumsallam” jawabku sembari membukakan pintu.
“Mbak meli, ini dapet undangan pernikahan”
“Ha? Siapa yang nikah mas?”
“Ngga tau coba liat aja mba”
“Oh, iya deh mas. Makasih ya mas”
“iya mba, yaudah kalo gitu saya pamit ya mba.
Assalamu’alaikum”.
“Iya mas. Wa’alaikumsallam”.
Kubaca perlahan surat undangan pernikahan itu, dan betapa
terkejutnya aku melihat nama mempelai pria disurat undangan itu. Rendi Aditya,
itulah nama mempelai pria diundangan itu.
Dunia seperti berhenti berputar, badanku terasa lemas,
seperti ada sesuatu yang menusuk jantungku. Perih sekali rasanya. Baru beberapa
menit yang lalu bayangan wajahnya datang menghantui, sekarang surat undangan
pernikahannya lah yang datang. Kenapa dia setega ini padaku? Apa sebenarnya
kesalahanku sampai dia harus menghukumku seperti ini?.
Aku berjalan menuju kamarku. Ada sesuatu yang terasa ingin
keluar dari mataku. Aku berusaha menahan dan membendungnya. Tapi tetap saja,
bendunganku tidak cukup kuat. Perlahan sesuatu itu keluar dari ujung mataku.
Menetes membasahi pipi.
Aku terbaring lemas, rasanya tubuhku sudah tidak punya
tenaga lagi untuk melakukan apa-apa. Dalam rasa sakit akupun terlelap. Berharap
semoga esok masih ada kebahagiaan yang tersisa untukku.
Matahari kembali terbit, bersiap memberikan sinar hangatnya
untuk bumi. Aku terbangun dari lelap tidur kesedihanku. Belum sempat aku
beranjak dari tempat tidurku, bayangan itu sudah datang lagi menghantui.
Seolah membelenggu dan menghalangi setiap langkahku. Meski
rasanya berat sekali, tetap saja kucoba untuk bangkit dari tempat tidurku.
Dengan senyum yang kupaksakan, akhirnya aku memulai hari ku dengan sebuah
kesedihan. Lemas sekali rasanya. Hariku terasa begitu hampa dan kosong.
Aku duduk termenung diruang tamu. Kuambil surat undangan
pernikahan yang kudapat semalam. Hatiku bimbang sekali. Apakah aku harus datang
menghadiri pernikahan seseorang yang begitu aku sayangi.
Apakah aku cukup kuat melihat seorang pria yang begitu aku sayangi
meminang wanita lain. Membuka pintu gerbang kehidupan baru bersama wanita lain.
Membuka lembar baru untuk mengukir kisah bersama wanita lain.
Ketika sedang termenung dalam kesedihan, tiba-tiba Seli
datang kerumahku. Dia mengajak ku untuk menghadiri pernikahan Rendi.
“Hey mel, kok loe belum siap-siap sih? Ayo buruan. Akad
nikahnya Rendi udah mau mulai ini”, ucap Seli. “Iya sel tau, tapi gue enggak
yakin mau dateng. Gue enggak yakin bakal bisa kuat ngelihat dia nikah sama cewek
lain”.
“Loe sayang sama Rendi kan? Kenapa loe harus sedih ngeliat
dia bahagia coba?”
“Iya si sel. Tapi cewe mana si yang rela ngeliat cowo yang
disayangi nikah sama cewe lain? Gue tau cinta itu ngga harus memiliki, tapi gue
ngerasa ngga rela kalo dia harus nikah sama cewe lain.”
“Yaudah deh terserah lo aja mel. Gue tunggu 15 menit. Kalo
lo masih belom siap-siap dan lo masi ngga mau berubah pikiran gue berangkat
sendiri aja.”
Aku terdiam mendengar ucapan seli. Aku masih termenung dalam
kegalauan. Ingin sekali rasanya menangis, tapi aku merasa malu dengan seli.
Sebenarnya siapa yang jahat.
Rendi yang meninggalkan aku untuk wanita lain, atau aku yang
egois karena memaksakan kehendak Rendi. Aku benar-benar sayang dengan rendi,
aku sangat yakin kalau aku tidak perlu menghadiri pernikahannya. Lagi pula dia
sudah tidak membutuhkanku.
Meski pikiran ku mendoktrinku diriku untuk tidak menghadiri
pernikahannya, entah kenapa hati ku merasa aku harus datang. Aku harus melihat
langsung moment paling bahagia dari orang yang sangat aku cintai. Akhirnya aku
pun beranjak dari tempat dudukku.
“Udah 15 menit nih. Gue berangkat ya” ucap seli.
“Eh tunggu sel. Tunggu 10 menit lagi. Gue siap siap dulu”.
“Nah… gitu dong. Itu baru namanya temen”.
“Iya iya. Tungguin ya”.
Aku pun pergi ke kamar mandi dan bersiap untuk menghadiri
pernikahan Rendi. Sekitar 10 menit seli
menunggu, akhirnya kami pun siap berangkat. Dengan mobil merah milik seli, kami
berdua berangkat menghadiri acara pernikahan Rendi.
Sekitar 30 menit perjalanan, kami tiba juga di acara
pernikahan Rendi. Beruntung acara akad nikahnya belum dimulai. Setibanya disana
aku dan seli langsung mencari tempat duduk yang dirasa paling nyaman untuk
melihat acara ini berlangsung.
Tidak lama kami duduk menunggu, keluarlah pasangan mempelai
pria dan wanita. Rendi menggunakan jaz hitam dan juga sebuah peci. Begitu gagah
dan tampan. Tidak seperti sebelumnya, dia nampak begitu dewasa. Begitu
karismatik dan gagah.
Aku merasa kalau aku benar-benar tidak salah menjatuhkan
hatiku kepada seorang Rendi. Meski pada akhirnya aku harus merasakan sakit yang
begitu dalam. Belum berhenti aku mengagumi Rendi, acara akad nikahnya sudah
dimulai.
“Saya terima nikahnya Mega Anggraini binti Sutrisno, dengan
seperangkat alat sholat dibayar tunai”.
Mendengar kalimat itu keluar dari Rendi, air mataku pun
jatuh lagi. Tapia da sesuatu yang berbeda kali ini. Perlahan bibirku mulai
tersenyum. Meski orang bilang tidak mungkin bisa bahagia melihat orang yang
disayangi bahagia dengan orang lain, tapi kali ini akulah orang pertama yang
paling bahagia melihat Rendi bahagia.
Mungkin ini lah rasa sayang yang sesungguhnya. Rasa sakit
yang aku rasakan semalam seperti hilang dihapus oleh air mata ini. Aku tidak
begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi satu hal yang pasti, aku
tersenyum dalam tangisku untuk seorang yang begitu aku sayangi. Terimakasih
Rendi Aditya.
---oOo---