Ruang 308 yang Keramat, Cerpen Horor Terbaru Mengerikan - Malam itu kami hendak pergi ke tempat saudara kami, tetapi tampaknya
kami lupa jalan dan tersesat. Dan kami tidak bisa berbuat-apa-apa karena kami
tidak bisa menggunakan GPS kami karena tidak ada sinyal.
Sementara itu aku melihat Rahman begitu sabar menghidupkan GPS di ponselnya dengan jaringan yang sangat buruk.
“Aduh kok enggak konek-konek si”, ungkap Rahman dengan begitu kesalnya sambil memegang ponselnya. Sementara aku melihatnya dan berkata,”Percuma Man, enggak ada sinyal”.
“Tadi sedikit sekarang putus lagi, Nah..!, kan nyambung GPSnya”, ungkap Rahman dengan begitu bahagianya.
“Aduh kok enggak konek-konek si”, ungkap Rahman dengan begitu kesalnya sambil memegang ponselnya. Sementara aku melihatnya dan berkata,”Percuma Man, enggak ada sinyal”.
“Tadi sedikit sekarang putus lagi, Nah..!, kan nyambung GPSnya”, ungkap Rahman dengan begitu bahagianya.
“Coba cari penginapan di sini Man”, ungkapku kepadanya. “Di
kebun-kebun seperti ini mana ada penginapan sih”, ungkap Dika salah satu
temanku. “Makanya cari dulu sama GPS”, ungkapku dan melihat Dika.
Aku dan Rahman begitu sabar menunggu informasi penginapan di
dalam GPS tersebut. “Searching google aja Man, cari penginapan gitu”, ungkapku
sambil melihat layar ponsel yang di pegang Rahman. Rahman membuka google dan
mengakses sebuah informasi tentang penginapan.
“Ni.. ni.. ni.., ada 1 penginapan di tempat ini namanya
penginapan melati, berdasarkan informasi google, letaknya tidak jauh dari
sini”.
Dengan begitu bahagianya aku berkata,”Kan ada kan, apa aku bilang”, ungkapku sambil melihat Dika yang begitu masa bodoh dengan masalah yang kami hadapi.
Dengan begitu bahagianya aku berkata,”Kan ada kan, apa aku bilang”, ungkapku sambil melihat Dika yang begitu masa bodoh dengan masalah yang kami hadapi.
“Ayo hidupkan mobilnya kita berjalan ke arah depan terus
lurus, GPS ini akan mengantar kita”, ungkap Rahman.
Dika menghidupkan mobilnya dan berangkat untuk mencari penginapan. “Ada perempatan kemana ini..?”, ungkap Dika yang begitu fokus menyetir.
“Ke kanan”, ungkap Raman sambil terus melihat tanda panah yang berjalan di atas peta dalam GPS.
Dika menghidupkan mobilnya dan berangkat untuk mencari penginapan. “Ada perempatan kemana ini..?”, ungkap Dika yang begitu fokus menyetir.
“Ke kanan”, ungkap Raman sambil terus melihat tanda panah yang berjalan di atas peta dalam GPS.
“Ini lurus terus sampai bertemu pertigaan”, ungkap Rahman.
Sesampainya kami di pertigaan Dika bertanya lagi,”Kemana kita..?”. “Ke kiri”,
ungkap Rahman.
“Benarkan ini jalanannya, kok serem gini sih”, ungkapku
melihat jalanan yang begitu gelap dan tidak ada permukiman sama sekali. “Ya
menurut informasi di internet sih begitu”, ungkap Rahman tanpa sedikit meninggalkan pandangannya pada
ponselnya.
“Nih sudah dekat lagi kita, ini lurus terus setelah itu
sampailah kita di penginapan”, ungkap Rahman menunjuk jalan.
Dika dengan begitu seriusnya mengikuti apa yang di sampaikan
oleh Rahman, sementara itu aku harap-harap cemas dan masih tidak percaya ada
permukiman di tempat ini. Kami berjalan terus hingga akhirnya kami melewati
pemakaman.
“Kok ngelewati makam sih”, ungkap Dika.
“Sudah, terus saja”, ungkap Rahman.
Kami sampai di ujung jalanan yang begitu jauh dan pelang
Melatipun sudah kami ketemukan. Tetapi berbeda dengan apa yang ada di bayangan
kami, karena penginapan ini seperti gedung tua yang sudah tak berpenghuni.
“Yakin ini penginapannya..?”, ungkap Dika. Sambil melihat
gedung Rahman berkata,”Yakin, ayo kita masuk”. Sementara itu aku berjalan
sambil melihat atap-atapnya yang penuh dengan debu dan sarang laba-laba.
“Permisi..,”, uangkap Rahman sambil mengetuk pintu
penginapan. Tetapi tidak ada satu orang yang menjawab kami. Hingga akhirnya
kami di kagetkan dengan pintu yang membuka sendiri tanpa ada orang yang membukanya
dan tanpa angin yang meniupnya.
Kami masuk dan terus berkata,”Permisi, Pak, Buk, Mas, Mbak,
apakah ada orang”. “Selamat datang di penginapan melati”, ungkap orang tua yang
begitu misterius dan berdiri di tempat kasir.
Kami terkejut mengapa tiba-tiba ada orang tua ini. kami
berjalan mendekatinya dan berkata,”Oh iya pak, saya dan kedua teman saya mau
menginap di sini, apakah ada kamar yang kosong”, ungkapku kepada orang tua
tersebut.
“Ada, mau berapa kamar..?”, ungkap orang tua tersebut. “1
saja pak untuk bertiga”, ungkap Dika.
Nada bicara yang begitu monoton dari orang tua tersebut
sedikit membuat kami takut berada di tempat ini. Belum lagi dengan tempat yang
begitu tidak terawat dan penuh debu.
“Silahkan di isi administrasinya”, ungkap orang tua
tersebut. Dika mengisi administerasi yang sudah di siapkan oleh orang tua
tersebut.
“Ini kunci kamar kalian di kamar 307, satu pesan saya,
jangan pernah membuka kamar nomer 308, apapun yang terjadi. Selamat
beristirahat”, ungkap orang tua tersebut.
“Iya pak, bisa antar kami ke kamar 307..?”, ungkapku.
“Iya pak, bisa antar kami ke kamar 307..?”, ungkapku.
“Seno..!”, ungkap orang tua tersebut memanggil orang yang
ada di balik pintu belakang. “Iya pak”, sambil berjalan mendekati orang tua
tersebut.
“Antar tamu kita ke kamar 307”, ungkap orang tua. Dengan begitu sigabnya orang tersebut berkata,”Iya pak”. “Mari mas saya antar”, ungkap pemuda tersebut.
“Antar tamu kita ke kamar 307”, ungkap orang tua. Dengan begitu sigabnya orang tersebut berkata,”Iya pak”. “Mari mas saya antar”, ungkap pemuda tersebut.
Aku berjalan menaiki tangga dan menuju kamar 307.
Sesampainya aku di kamar 307, aku melihat kamar 308, yang memang tidak boleh
untuk di buka.
Tetapi kenapa demikian tidak boleh di buka ungkap hati bertanya-tanya ketika melihat kamar 308. Kami masuk ke dalam dan begitu pengabnya kamar ini dan terlihat sekali tidak pernah di rawat.
Tetapi kenapa demikian tidak boleh di buka ungkap hati bertanya-tanya ketika melihat kamar 308. Kami masuk ke dalam dan begitu pengabnya kamar ini dan terlihat sekali tidak pernah di rawat.
“Sampai di sini saja ya mas, saya kembali bekerja lagi”,
ungkap orang tersebut dan pergi. Aku dan kedua temanku mulai membersihkan
kamarnya dan menata kembali kasurnya. Setelah selesai kami mulai beristirahat
untuk melemaskan otot-otot kami.
Kami tidur bertiga di kamar yang cukup luas ini, sementara
itu ketika hendak memejamkan mata aku mendengar suara dari kamar 308.
“Kalian dengar enggak ada suara orang menangis di kamar
samping”, ungkapku kepada kedua temanku. “Iya siapa ya, suaranya si suara
perempuan”, ungkap Rahman dan Dika dengan begitu bertanya-tanya.
Suara perempuan menangis tersebut semakin keras hingga
mengganggu kami yang hendak tidur. Aku berdiri dan hendak berjalan keluar.
“Woy mau kemana”, ungkap Dika.
“Aku mau mengintip kamar 308 dulu”, sambil berbisik.
Mereka berdua ikut bersamaku hendak melihat apa yang
sebenarnya terjadi di kamar tersebut. kami berjalan menuju kamar tersebut dan
terdengar begitu jelas ada orang yang sedang menangis. Lama kami menempelkan
kuping kami di pintu 308, dan membuat kami penasaran lagi.
Hingga akhirnya aku memegang pintu tersebut dan hendak membukanya.
Tiba-tiba pria tua yang menjadi kasir memegang tanganku dan berkata,”Apa kau
tidak punya telinga..!, aku sudah bilang jangan bukan pintu ini”, ungkap pria
tua tersebut dengan begitu marahnya.
Suara tangis yang tadi kau dengar tiba-tiba hilang ketika
orang tua tersebut datang. Dengan begitu sedikit merasa bersalah aku
berkata,”Aku mendengar ada perempuan yang sedang menangis di dalam makanya aku
ingin membukanya”.
“Hati-hati kalian di sini, kamar ini adalah kamar keramat,
jadi jika kalian mau selamat ikuti peraturan yang ada”, ungkap pria tua
tersebut. “Iya pak”, ungkap kami bertiga dan masuk ke kamar lagi.
Kami menutup pintu kamar dan kemudian tidur. Kami kaget ada suara orang tertawa di dalam kamar 308. “Loh kok ada perempuan yang tertawa sih, tadi nangis sekarang tertawa, Hi....”, memeluk bantal dan berusaha menutup mata.
Kami menutup pintu kamar dan kemudian tidur. Kami kaget ada suara orang tertawa di dalam kamar 308. “Loh kok ada perempuan yang tertawa sih, tadi nangis sekarang tertawa, Hi....”, memeluk bantal dan berusaha menutup mata.
--- oOo ---