Contoh Cerpen Horor Mengerikan - Magrib menjelang, angin semilir berhembus, aku dan kedua
temanku sedang melakukan perjalanan pulang. Kami berjalan kaki mendaki dan
menuruni perbukitan, terjal berliku. Tidak ada rumah satupun ketika kami
melintas, yang ada hanya hutan-hutan dan perkebunan milik warga, itu pun
perkebunan tanaman besar. Golok di pinggang menjadi satu-satunya teman bila ada
hewan buas yang menyerang.
Kami semua dari hutan untuk mencari daun obat untuk mengobati luka ibuku yang kakinya terkena minyak panas. Namun karena jarak rumah dan hutan yang begitu jauh kami harus sabar berjalan.
Kami terus berjalan sambil membawa “rinjing”, wadah yang terbuat dari bambu, berisikan tanaman obat tersebut. Hingga akhirnya desa sudah terlihat, tetapi masih jauh lagi.
Kami terus berjalan sambil membawa “rinjing”, wadah yang terbuat dari bambu, berisikan tanaman obat tersebut. Hingga akhirnya desa sudah terlihat, tetapi masih jauh lagi.
Kami berjalan terus dan berharap sekali bisa cepat sampai.
Sampailah kami di bawah dan melewati pepohonan yang begitu besar dan lebat.
Samping pohon besar juga banyak sekali pohon bambu yang begitu rimbun. Suasana begitu gelap dan dingin karena di bawah pohon langsung. Aku terus berjalan melewati terowongan pohon tersebut.
Samping pohon besar juga banyak sekali pohon bambu yang begitu rimbun. Suasana begitu gelap dan dingin karena di bawah pohon langsung. Aku terus berjalan melewati terowongan pohon tersebut.
Dengan langkah yang perlahan aku berjalan melewati
terowonangan tersebut. sementara itu aku melihat Ihsan begitu ketakutan ketika
melintasi trowongan ini.
Hingga sampailah kami di tengah-tengah terowongan dan berhenti sejenak, karena aku merasa ada yang sedang mengikuti kami dari balik pohon yang ada di sampingku. Aku menyinari dengan senterku dan tidak ada orang satupun di sana.
Hingga sampailah kami di tengah-tengah terowongan dan berhenti sejenak, karena aku merasa ada yang sedang mengikuti kami dari balik pohon yang ada di sampingku. Aku menyinari dengan senterku dan tidak ada orang satupun di sana.
Ihsan yang sedang ketakutan berkata padaku,”Kamu nyenterin
apa sih, ayo jalan lagi”. Aku berjalan lagi dan membuang jauh-jauh pikiran
tentang orang yang mengikutiku.
Tetapi 5 langkah aku berjalan ada suara lagi di balik pohon tersebut seperti ada orang yang berjalan. Aku menghentikan langkahku dan berkata kepada temanku,”Kalian dengar enggak seperti ada yang lewat di balik pohon”.
Tetapi 5 langkah aku berjalan ada suara lagi di balik pohon tersebut seperti ada orang yang berjalan. Aku menghentikan langkahku dan berkata kepada temanku,”Kalian dengar enggak seperti ada yang lewat di balik pohon”.
Sambil bingung dengan apa yang terjadi mereka
berkata,”Enggak, emang ada apa sih Wan”, sambil berbisik-bisik.
“Aku merasa ada orang yang mengikuti kita di balik pohon
itu”, ungkapku kepada teman-temanku. Dengan muka yang ketakutan dia
berkata,”Yang bener kamu Wan..?”. “Tapi tenang saja, di sini kita kan enggak
ganggu mereka dan sekedar ingin lewat”, ungkapku menenangkannya.
“Iya sih tapi serem Wan”, ungkap temanku sambil memegang
tanganku. “Sudah tenang saja, ayo berjalan lagi”, aku berjalan lagi dan temanku
mengikutiku sambil memegang tanganku. Suara itu muncul lagi hingga membuatku
geram.
Aku melemparnya dengan batu tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Kami berjalan lagi dan sampailah di tempat yang lebih menyeramkan lagi.
Aku melemparnya dengan batu tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Kami berjalan lagi dan sampailah di tempat yang lebih menyeramkan lagi.
Bulu kuduk kami semua merinding ketika melewati tempat ini. Apalagi
ditambah suasana yang semakin dingin, seram. Tapi aku terus menenangkan diriku
dan teman-temanku untuk tidak takut. Kami terus berjalan dengan begitu
hati-hatinya.
“Wan.. Wan.. itu di samping pohon apa Wan”, ungkap Ihsan
dengan begitu ketakutan dan dengan suara dengan artikulasi yang kurang benar.
Aku tidak menghiraukan dan berkata,”Apa sih, kamu tenang saja enggak ada
apa-apa”, ungkapku.
“Wan, itu pocong Idiot!, mukanya jelek banget kain kafannya
juga sudah jelek, sobek-sobek”, ungkap Ihsan. Aku terus menghadap depan dan
berjalan sambil berkata,”Mana ada sih pocong”, ungakapku. Dia menarik aku lagi
dan berkata,”Itu di belakang”, berlari
meninggalkanku dan Indra.
Aku dan dan Indra menghadap ke belakang dan sontak kami
tidak bisa berkata apa-apa. Kami berlari dengan begitu cepatnya dan menyusul
Ihsan yang sudah dulu berlari. Hingga sampailah aku di tempat Ihsan sedang
duduk melepas lelah sambil menungguku dengan Indra.
“Bener kan, aku tidak bohong ada pocong”, ungkap Ihsan
sambil terengah-engah. Aku duduk di samping Ihsan dan bekata,”Iya bener kamu,
aku kaget banget itu, ngeri lihat wajahnya yang di penuhi belatung”. “Wan,
Shan, itu sih sana ada lagi”, ungkap Indra dengan begitu ketakutan.
Aku melihat Indra dan berkata,”Ada apa…?”. Dia terus ketakutan dan terus menunjuk ke arah pohon besar. Aku melihat ke arah pohon yang di tunjuk oleh Indra.
Aku melihat Indra dan berkata,”Ada apa…?”. Dia terus ketakutan dan terus menunjuk ke arah pohon besar. Aku melihat ke arah pohon yang di tunjuk oleh Indra.
Berbeda dengan yang tadi ini lebih menyeramkan dan sontak
membuat kami lari. Dengan terus berlari kami berkata,”Tolong pocong…!”. kami
berlari terus dan sampailah kami keluar dari trowongan mistis ini. Meski
permukiman warga masih jauh setidaknya kami sedikit lebih nyaman karena di sini
tempatnya sedikit terbuka dan tidak seseram tadi.
Kami duduk sejenak untuk mengumpulkan energi untuk kami
berjalan lagi. Kami minum air yang tinggal sedikit ini. Dengan cermat kami
membaginya secara rata agar cukup untuk kami bertiga. Kami berjalan lagi
melewati padang ilalang.
Meski terbuka ilalang ini juga cukup membuat kami was-was, karena ketinggiannya melebihi kami, dan kami tidak tahu apa yang di balik ilalang tersebut. Bisa saja seperti yang aku temui ketika di terowongan tersebut.
Meski terbuka ilalang ini juga cukup membuat kami was-was, karena ketinggiannya melebihi kami, dan kami tidak tahu apa yang di balik ilalang tersebut. Bisa saja seperti yang aku temui ketika di terowongan tersebut.
Kami terus berjalan hingga akhirnya sampailah kami di
sungai. Kami melewati jembatan untuk sampai ke seberang. Tubuh kami kembali
merinding seolah kehadirannya kini sudah di samping kami. Kami terus melihat ke
kanan, ke kiri, ke depan, belakang, atas, sambil berjalan.
Aku terkejut melihat permukaan air di tengah naik dan
membentuk gunung. “Weh itu ada apa..?”, ungkapku berteriak kepada temanku. Tak
lama kemudian air yang berbentuk gunung tersebut pecah dan ternyata di dalamnya
ada sosok yang mengerikan.
Matanya bersinar merah, sedang mukanya penuh darah. Aku berlari dengan begitu cepatnya tanpa mempedulikan teman-temanku yang juga sedang berlari di belakangku.
Matanya bersinar merah, sedang mukanya penuh darah. Aku berlari dengan begitu cepatnya tanpa mempedulikan teman-temanku yang juga sedang berlari di belakangku.
Aku terus berlari hingga akhirnya aku sampai di permukiman
desa. Aku dan temanku duduk sejenak, kami sedikit sok dengan apa yang kami
lihat.
Ketika kami memejamkan mata, kami terus teringat muka mahluk mengerikan yang kami temui, bak wajah seorang kekasih yang tak pernah mau pergi dari pikiran. Kami berjalan pulang untuk kemudian mandi dan memberikan obat yang kami dapat untuk ibuku.
Ketika kami memejamkan mata, kami terus teringat muka mahluk mengerikan yang kami temui, bak wajah seorang kekasih yang tak pernah mau pergi dari pikiran. Kami berjalan pulang untuk kemudian mandi dan memberikan obat yang kami dapat untuk ibuku.
Tetapi aku tidak habis pikir mengapa para pocong itu muncul
di hadapan kami. Apakah salah kami, tapi yang pasti aku dan temanku sangat
beruntung masih bisa pulang ke rumah dengan selamat tak kurang satu apapun
kecuali peluh yang tercecer dijalanan.
Mungkin kejadian yang terjadi hari ini akan menjadi
pengalaman yang mendidik yang tentunya akan aku ambil hikmahnya. Dengan
pengalaman ini aku sadar bahwa malam memang bukan waktunya untuk pergi ke
hutan. Mungkin di lain waktu aku akan mengatur waktuku hingga aku tidak
kemalaman di jalan.
--- oOo ---